USTADZ DAN AMPLOP UANG


USTADZ DAN AMPLOP UANG


Mudah-mudahan dengan kisah singkat yang saya bagikan kepada kawan-kawan ini, menjadikan kita punya cara yang lebih baik lagi dalam menghargai ilmu dan seorang ustadz.

Saya baru sadar, betapa ustadz itu juga manusia biasa setelah saya agak besar dan mulai mengerti ini itu. Istilahnya, ketika saya sudah makin dewasa.

Dulu, saya sering dengar obrolan ustadz-ustadz yang berkunjung ke rumah bapak, dan cerita tentang pengalaman mengisi kajian/ceramah. Mereka ikhlas, tapi mereka juga manusia.

“Kalau ngisi di kampus tuh, mesti dikasihnya kue. Hahaha... anak-anak ini.. Padahal kalau di kampung-kampung, meski mereka melarat, tapi suka maksa-maksa ke kita ngasih amplop. Walaupun uangnya recehan, tapi mereka mengerti betul sama ustadz.

Obrolan itu hanya saya anggap angin lalu, karena pada waktu itu saya belum mengerti. Waktu pun berlalu. Begitu selesai kuliah, syaa dan kakak saya saat itu masih sama-sama single. Kami sama-sama diminta mengisi (kajian/ceramah) hampir setiap hari. Dan setiap hari itu pula, kerjaan kami sepulang mengisi yaitu membawa kue  khas X (yang biasanya dibeli mahasiswa sebagai bingkisan pembicara).

Pagi, kakak saya yang bawa, sore giliran saya yang bawa. Sampai-sampai orang rumah bosan sekali melihat kue itu dan setiap hari kami makan itu-itu saja. Hahaha... Padahal, disis lain, pulsa pun sudah tidak terbeli, tapi gayanya makan kue melulu. Lucu ya ?

Sempat berpikir, coba kue-kue ini diberikan dalam bentuk amplop saja, meski isinya Cuma 25 ribu, lumayan bisa beli pulsa. Pada titik itu, saya tersentak. Ternyata benar kata ustadz-ustadz yang dulu mengobrol di rumah bapak itu. Apalagi mereka berkeluarga, punya anak. Untuk menyiapkan materi kajian dan berangkat dengan motornya ke tempat kajian, bahkan seringkali menerobos hujan, pernahkah terpikir dengan apa kita membalas ketulusan mereka ?

Anak-anaknya yang perlu dibiayai sekolahnya, bayi-bayinya yang perlu susu, kendaraan yang harus diisi bensin, dan lain-lain. Para ustadz memang tidak betul-betul berharap diberi. Kebanyakan ustadz justru menolak. Tapi yang harus kita pikirkan adalah diri kita. Bagaimana kita bisa memahami mereka tanpa mereka harus bicara ?

Sekali waktu, saya diundang ke sebuah acara besar disalah satu kampus swasta. Acaranya keren, sponsornya tidak tanggung-tanggung, produk kosmetik halal yang terkenal itu, aneka produk hijabers, pokoknya wah deh !! Nah, karena sudah terlanjur janji, saya pun berangkat. Terpaksalah harus bawa anak pertama saya yang saat itu masih bayi, seorang diri, naik angkot, lalu lanjut naik bus, dan masuk kampus jalan kaki. Pulangnya pun sama.


Begitu sampai di rumah, mamah saya tanya , “wah acaranya gede ya, jadi punya uang dong buat beli susu si kecil ?”

Waktu itu suami saya masih kuliah dan belum bekerja. Jadi otomatis hidup kami pun serba mepet. Hehehe...

Mendengar pertanyaan mamah, saya cuma senyum, geli sendiri, sambil jawab, “Nggak ada, Mah. Ini dapetnya malah bingkisan kecil isinya lipstik, pelembab, masker, dan bedak.”

Mamah geleng-geleng, “Dasar mahasiswi ya. Nggak bisa memahami relalita aja. Masa ongkos 10 ribu pun nggak digannti.”

Ada lagi lain cerita. Suatu saat, seorang ustadz dari Bandung diundang ke kampus untuk sebuah acara cukup besar, dan bertempat disebuah auditorium. Saya bukan panitia, tapi ketika acara sudah hampir selesai, saya lihat panitia akhwat yang sedang menyiapkan kue, lagi-lagi khas merk kue ala  mahasiswa yang dibungkus plastik, isinya 2 kotak. Lalu saya tanya, “Ukhty, ini bingkisan pembicara ?” Dijawabnya, “Iya.” Saya tanya lagi, “Dikasih amplop ?” Yang ditanya malah ketawa, “Enggak” Dalam hati saya ingin teriak, maaaaakkk...!!! dari Bandung jauh-jauh. Tidak adakah perasaan empati pada beliau sedikitpun ?

Pernah di lain kesempatan pula, ini giliran saya yang jadi panitia. Acara kajian. Saat itu, hujan sangat lebat. Dengan mengendarai motor, sang ustadz yang sudah agak sepuh usianya, datang menerobos hujan. Beliau datang dengan kondisi masih basah-basahan. Ketika itu, pesertanya banyak, infak keliling sampai 375 ribu. Saya tanya  kawan saya yang menjadi PJ bagian bingkisan, “Ustadz dikasih apa ?” Kawan saya jawab, “Ini, 3 kotak susu ultra besar.” Saya tanya lagi, “Amplop ?” Dia jawab, “Emang harus??” Saya langsung singgung soal infak peserta, “Uang lebihan berapa ? Keropak 375 ribu, dikurang-kurang sisa berapa, masih ada 200 ribu. Kasihlah ustadnya. Kasihan beliau, ujan-ujanan pula.”

Teman saya pun menyiapkan uang 100 ribu untuk dimasukan ke dalam amplop. Saya tanya lagi “Ustadnya rumahnya dimana ?” Teman saya jawab “Lumayan jauh sih” Sambil menyebutkan tempatnya. Diam-diam, saya masukan uang 150 ribu, lalu amplopnya saya rekatkan.

Masih banyak lagi peristiwa yang sekarang membuat saya sadar bahwa ustadz juga manusia. Kitalah yang sering tidak pandai berempati kepada mereka. Coba kalau yang mengisi dosen-dosen di acara keilmuan lain, dan bukan ustadz. Beranikah kita beri mereka kue saja ?

Di lain waktu, saya pernah bertanya pada mamah saya, “Mah, jamaah pengajian ibu-ibu di masjid X itu kok ngasihnya gede banget kalau ada ustadz ngisis ? kenapa mah ?” Kebetulan mamah saya jadi  koordinator pengajian masjid tersebut. Dan setahu saya, di masjid tersebut, untuk 2 jam mengisi, sang ustadz diberi minimal 700 ribu.

Mamah menjawab, “Kita harus menghargai dan empati dengan para ustadz. Mereka itu kan orang-orang yang butuh juga. Kalau kita kasih besar meskipun pada dasarnya mereka ikhlas, ustadz jadi lebih semangat ngisinya. Bayangkan pengorbanan mereka dari sisi waktu, tenaga, kesempatan, dan pikiran untuk ngisi, berbagi ilmu ke kita. Kita haruslah berusaha menghargainya.” Jawaban mamah membuat saya tertegun.

Kemudian saya tanya dari mana uangnya. Mamah jawab, “Ya Cuma keropak keliling aja.”

Kita mungkin tidak bisa memberi banyak. Tapi sejujurnya, uang pasti lebih dibutuhkan ketimbang kue. Angka 25 ribu lebih berharga bagi seorang kepala keluarga dengan anak-anaknya yang  menanti di rumah.

Wallahu’alam.
Mudah-mudahan biasa diambil pelajaran dan perbaikan.

Sumber : WA FS ADLPM-FP UNSRI


*Mero

0 komentar