PERLU PENDIDIKAN
YANG BERMORAL
Oleh : Amirul
Mukminin
Kita dan saya
sebagai generasi muda sangat prihatin dengan keadaan generasi penerus atau
calon generasi penerus Bangsa Indonesia saat ini, yang tinggal, hidup dan
dibesarkan di dalam bumi Republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang
bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa perlu melakukan hal-hal yang memungkinkan hal itu terjadi walaupun memakan
waktu lama.
Pertama melalui pendidikan
nasional yang bermoral. Lalu apa hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib
Generasi Penerus ? Hubungannya sangat erat. Pendidikan pada hakikatnya adalah
alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul.
Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah
pendidikan sumbangkan untuk kemajuan atau kemunduran suatu Bangsa. Apa yang
telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan
pendidikan nasional kita selama ini.
Pendidikan
nasional selama ini telah menyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan
nasional kita mampu menciptakan pribadi yang bermoral, mandiri, matang, dan
dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, tahu
malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan kepentingan
pribadi atau kelompok. Tapi kenyataan bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang
melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme
baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan
tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof.Dr. Contoh lainnya
dalam bidang politik lebih parah lagi, ada partaikembar, anggota dewan terlibat
narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena
memperebutkan posisi tertentu. Bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat
kalau dalam diri partai saja belum kompak.
Dan ingatkah
ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan dalam sidang kasus bulog yang
dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah
orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan ?.
Apakkah mereka tidak sadar tindakan mereka akan ditiru oleh generasi muda saat
ini dimasa yang akan datang ?. Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpangan
yang sangat parah, seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan
Professor, dan anenya pelaku adalah orang-orang yang mengerti tentang
pendidikan. Kelas jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat
untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak
skripsi atau tesis, menyuap untuk menjadi pegawai negeri atau menyuap untuk
naik pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar.
Di pendidikan
tingkat menengah atau tingkat dasar, sama parahnya. Setiap awal tahun ajaran
baru, para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya, kalu bisa didongkrak
supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara
yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukkan anaknya ke sekolah
yang diinginkan, kalau perlu menyuap. Perilaku para orang tua seperti ini
khususnya kalangan berduit secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak
mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. Makanya tidak aneh jika
sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat. Dan banyak
lagi satu persatu yang tidak perlu saya sebutkan dalam tulisan ini.
Kembali ke
pendidikan nasional yang bermoral, dimana proses pendidikan harus bisa membawa
peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu,
tidak plin-plan, jujur, santun, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga
mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan
pendidikannya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang kita
miliki dan dihargai didunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan
utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte bangsa
ini dalam berbagai bidang kehidupan.
Dengan kata lain, proses
transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya
dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses transformasi ilmu
pengetahuan di SD sampai Perguruan tinggi sang pendidik harus memiliki
moralitas yang bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik
harus jujur, bertakwa, berakhlak mulia, tidak curang, tidak memaksakan
kehendak, berprilaku santun, disiplin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak
plin-plan, berprilaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga, dan masyarakat.
Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai Perguruan tinggi memiliki sifat-sifat
seperti diatas. Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.
Kedua, Perubahan
dalam pendidikan dalam pendidikan
nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran
pendidikan, dan perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran
pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji
guru/dosen sudah dinaikkan, namun kalau pendidik dan biokrat pendidik serta
para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya
perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh
dari yang diharapkan, dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada
genersai muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak
berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan biokrat pendidikan serta pembuat
kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini.
Tapi adanya oknum yang berprilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera
merubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.
Selain itu,
anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu merubah cepat kondisi pendidikan
kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi
jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari pengguna
anggaran tersebut. Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela,
apalagi 20-25% .
Ketiga, berlaku
adil dan hilangkan perbedaan. Ketika saya masih di SD dulu, ada beberapa guru
saya sangat sering memanggil teman saya maju kedepan untuk mencatat dipapan
tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini
juga berlanjut sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah
sedih, rendah diri, iri dan putus asa sehingga muncul pertanyaan mengapa sang
guru tidak memanggil saya atau yang lain. Apakah hanya hanya yang pintar atau
anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu ?. Apakah
pendidikan hanya untuk orang pintar dan
kaya saja ?. Dan mengapa saya tidak menjadi orang pintar dan kaya seperti teman
saya ?. Bisakah saya menjadi orang kaya dengan cara yang demikian ?.
Dengan contoh yang
saya rasakan ini, saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita
telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik, sehingga
generasi muda kita secara tidak langsung telah diajari bagaimana berlaku tidak
adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas
akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang
tua dan masyarakat. Yang masuk dikelas unggulan belum tentu memang unggul,
tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas
unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak
unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para
orang tua mereka mencari jalan bagaimana caranya supaya anak mereka bisa masuk
kelas tersebut.
Kalau mau membuat
perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri,
bermoral, dewasa, dan bertanggung jawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa
lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan
kelas unggulan dan akselerasi perlu di tinjau kembali, kalau perlu hilangkan
saja.
Contoh lain lagi,
seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak membawa kamus.
Padahal dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang siswa yang
pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai
bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes kepada guru
ketika belajar dan tidak ikut les dirumah guru tersebut. Inilah contoh
sederhana bahwa pendidikan nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku
adil dan menghilangkan perbedaan .
*Mero
*Mero
0 komentar