AKU DAN SENJA SAHABATKU

AKU DAN SENJA SAHABATKU


Ra, hampir di setiap saat teringatmu, hanya satu wejangan Umi yang selalu menyuruhmu bersabar di setiap kali kau pulang dengan wajah muram penuh akan kesedihan, lantas berucap Alhamdulillah, sebab hari pun tak akan lagi sulit dijalani, karena sabar adalah kontrol diri dan syukur adalah jendela hati, begitu kerap kali Umi bernasehat padamu. “Tapi mengapa Umi? Meski kini wejanganmu berulang kali kau ucapkan, aku tetap saja sedih. Apakah wejanganmu kini hanya replika wejangan yang dulu ? Atau semua nasehatmu itu telah layu dan butuh refisi untuk itu ? Karena tidak satu pun yang mampu menghapus sedihku ini. Umi, sebab bukan ragaku yang sedih tapi jiwa dan hatiku yang sakit.” Ingin sekali kau adukan itu semua pada Umi, namun kau tahu sungguh tak mungkin untuk itu, karena di sini kau hanya sendiri, tanpa keluarga dan sanak famili, hanya berteman para sahabat yang sedikit mampu mengobati lukamu, kala imaji membawamu kembali ke masa lalu.
Masih jelas kuingat, tiga bulan kurang sebelas hari lalu, saat jalanan panjang penuh liku merenggut kehangatan keluarga dari sisimu, seorang putra kiai yang mencoba hijrah ke pondok pesantren untuk melupakan masa lalu yang kelabu, membuatmu terpisah dengan keluarga dalam jarak yang begitu jauh, bahkan begitu jauh dari gapaian teriakan kerinduan. Di sana kau diajari banyak hal, tentang pertemanan, persahabatan, arti kehidupan, bahkan lagi-lagi nasehat tentang sabar dan ketabahan, namun tetap saja tak satupun yang mampu menghapus luka dari hatimu. Tak satupun! “Wah, kasihan sekali kamu, Akhi…” “Tragis ceritamu ini, Frend…” “Tragedi yang memilukan…” Begitu, komentar para sahabat kala kau berkisah tentang tragedi yang menimpamu tiga bulan lalu, saat Abah menentukan keputusan yang sulit untuk kau percaya, menjodohkan satu-satunya bintang dihatimu dengan seseorang yang dekat bahkan begitu dekat denganmu. Khalil, saudara sekaligus teman untuk kau berbagi rasa, ia dijodohkan dengan bintang kejoramu, Shofwa.
Masih jelas dan selalu kau ingat saat-saat mendebarkan itu, saat kau dan Shofwa sama-sama tertunduk menahan malu kala pertemuan pertamamu. Kau dan dia sama-sama sumringah dengan wajah yang terus saja merunduk tanpa berucap kata seakan berdialog menggunakan gejolak jiwa, tanpa kata. Kini kau dan dia sama-sama tertunduk, namun dengan suasana dan tempat yang berbeda.
“Tidak! Ini tidak mungkin terjadi, itu bukan Shofwa. Dan kalaupun itu Shofwa, ini pasti hanya mimpi buruk yang kebetulan saja menimpaku. Tuhan, tolong bangunkan aku, aku tak kuat lagi alami ini…” hatimu meradang saat kau tahu bahwa calon pasangan kakakmu adalah seseorang yang selama ini menjadi perbani di hatimu. “Ah, jangan… kau…” hatimu kembali meronta saat kau lihat kejoramu jelas meneteskan air mata kesedihan. Ingin sekali kau seka air mata yang terlanjur jatuh ke permukaan pipinya dengan sapu tangan penuh rasa sayang, dan akan kau dekap ia erat-erat agar tidak ada sesuatu pun yang membuatnya kembali sedih. Tapi ah, percuma, kau tidak bisa lakukan itu, yang kau bisa hanya merunduk pasrah, berharap segera terjaga dari mimpi yang sangat buruk ini. Namun percuma, Ra…, kau tidak akan bangun ataupun terjaga, karena semua ini nyata bahkan begitu nyata, aku pun tahu itu.
***
Kau termenung menatapi langit langit kamar, membayangkan wajah Shofwa kala menangis tersedu, lantas kau mencerminkan wajah sedih, sedangkan aku yang sedari tadi menatapimu dari celah-celah pintu kamarmu juga merasakan hal yang sama. Sakit. “Asssalamualaikum, Ra…! Sampean diminta neng Shofwa ke belakang asrama putri sekarang!” Nisa’, seorang abdi dhalem yang juga sahabat Shofwa menyampaikan pesan itu dengan tergesa. Kau kemudian berhambur keluar kamar, berjalan dengan tegesa menuju lorong-lorong kecil di belakang asrama putri dengan beragam tanya yang begitu saja terlintas tanpa sedikitpun jawaban kata. Dari kejauhan kau lihat, Shofwa mondar-mandir menunggmu. Dengan cepat kau dekati dia lantas beruluk salam, “Assalamua’alaikum…” Shofwa kemudian menunduk malu sembari menjawab salammu lirih. “Ra…” Shofwa berucap lantas beranjak mendekat, dan kau pun tak bisa berbuat apa-apa. Kau semakin tak berdaya saat Shofwa menangis tersedu, sedangkan aku yang menatapi dari kejauhan, juga merasakan hal yang sama, perih. “Sudahlah Shof, sudah…” kau melepaskan pelukan. “Janganah kau bersedih lagi Shof, aku sangat faham apa yang kau kini rasakan. Sudahlah tak mengapa, aku rela jika kau bersanding nanti dengan kak Khalil. Meski hati ini mengatakan tidak, aku akan paksa, jangan sampai keegoan cinta menjadikan kita tidak berbakti lagi pada orangtua. Kita tetap harus patuh dan yakin terhadap apa yang menjadi keputusannya, karena InsyaAllah itu merupakan jalan yang terbaik bagi kita, meskipun telalu pahit terasa. Dan yakinlah Shof, aku tidak mengapa,” kau coba meyakinkan, “Aku bahagia Shof, jika melihat kau bahagia, maka tesenyumlah Shof, karena senyumanmu lebih dari segalanya bagiku.” Kau berucap tenang seakan tidak ada apa-apa, namun di sudut terdalam hatimu, ada luka menganga yang begitu sakit dan kau hanya bisa menangis dengan rintihan tanpa suara.
***
Ruangan megah itu bukanlah Aula, bukan juga Auditorium tempat para intelektual adu bicara, tapi ruangan itu adalah ruang persepsi pernikahan yang di disain semegah mungkin untuk pernikahan saudara dan kekaasihmu, kau tahu itu. Cukup lama kau terpaku menyaksikan Khalil dan Shofwa yang bersanding indah di pelaminan, lantas dalam kepalamu terangkai sebuah acara besar dimana kau dan Shofwa bersanding mesra, sambil menatap masa depan cerah yang akan kau lalui bersamanya. Tapi ah, percuma. Saat kau menyadari apa yang terjadi, kau hanya bisa menundukkan kepala, karena sakit yang kau rasa semakin perih saja, dan aku pun merasakn itu, Ra.
Meski berat, kau perlahan melangkah menuju Khalil, kakakmu. Lantas berucap, “Selamat kak, kau menikahi kekasihku, jaga dia baik-baik” ucapanmu membuat Khalil tertunduk, seakan juga merasakan luka yang kau rasakan sebagai luka terperih yang pernah ada.
Kau alihkan pandangan pada Shofwa yang sedari tadi hanya memperhatikanmu seorang, demikian juga denganku. Kau tatap lekat-lekat wajah kekasihmu itu seakan merupakan tatapan terakhir bagi perjalanan cinta yang terjalin sekian lama. Dari matanya kau tahu, bahwa ia menahan air mata agar tidak membasahi pipinya, namun setelah kau berucap” jangan sedih Shof, biarkan luka ini tenggelam bersama sunset di ujung laut sana” ia tak lagi mampu menahan air mata untuk mengalir deras ke permukaan pipinya, karena ada saat indah di benaknya kala masih bersama menikmati indahnya sunrise dan sunset. Saat-saat indah yang sulit di lupakan
***
Sejak peristiwa yang pasti tak bisa kau lupakan itu, kau pamit pada Abah dan Umi untuk mondok di Pesantren yang jauh dari rumahmu, agar kau bisa sedikit demi sedikit melupakan kenangan yang sangat menyakitkan bagimu, meski kau pun tahu tak semudah itu menghapus kenangan yang terus saja berkelebat bagai putaran video yang setiap saat bisa kau putar itu. Kau coba menjauh dari mereka agar kau bisa melupakan mereka dan mereka tak ingat lagi pada dirimu. Mungkin saja, tapi tidak demikian denganku. Aku akan selalu menemanimu di mana saja, meski kau kini begitu jauh dariku tampa ada seorang pun yang tahu termasuk dirimu. Karena sebenarnya aku adalah Nisa’, sahabat Shofwa yang selama ini menjadi pengagum senjamu.
Guluk-guluk, 27 pebruari 2011

Catatan:1.    
*) penulis lepas asal Sumenep Madura, Mahasiswa INSTIK Annuqayah, serta penggiat di Komunitas Cinta Nulis PP. Annuqayah Lubangsa Selatan.
Cerpen Karangan: Fairuz Zakyal ‘Ibad Facebook: Fairuz Zakyal Ibad
Fairuz Zakyal ‘Ibad, merupakan nama pena dari Ach. Fairuzzabadi.Seorang pengagum cahaya, rembulan, dan kesunyian.Lahir di sebuah desa kecil yang dikelilingi aliran sungai, Lengkong Bragung Guluk-Guluk Sumenep Madura.Mulai menulis sejak mengenyam bangku Madrasah Tsanawiyah di Raudlah Najiyah, Lengkong, dan tetap aktif menulis hingga kini. Lebih senang menikmati oretan pena sendiri di antara kesunyian dari pada mengirimkan ke berbagai media massa. Tengah bermukin di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Selatan dan penggiat di Komunitas Cinta Nulis (KCN) sekaligus “pengasuh” Komunitas Sastra Embun Pagi Raudlah Najiyah putri. kini tengah merampungkan buku kedua dengan judul, Tentang Kita, setelah buku pertama terbit dengan judul, Kesetiaan Purnama(2012)

bisa dihubungi di: email: genangan.cahaya[-at-]gmail.com fb: Fairuz Zakyal Ibad hp: 081939455238


*Mero

0 komentar