JEBAKAN MEGALOMANIA


JEBAKAN MEGALOMANIA


By : Anis Matta

Terlalu tipis memang. Tapi bukan tidak mungkin untuk ditemukan selama kita jujur : nilakah amarah dan ambisi ini, atau embun. Hanya, ini juga bisa jadi awal dari riwayat megalomania yang panjang.

Suatu saat ketika kamu merebut kemenangan demi kemenangan, kekuasaan yang semakin bertumpuk. Musuh sudah kau taklukan semua, tak ada lagi yang berani melawan. Semua orang mulai tunduk padamu. Disekelilingmu hanya ada para pemuja. Musuhmu menyelinap ke dalam bentengmu, ke dalam dirimu sendiri. Halus, sampai kau bahkan tak mengenalnya. Kamu mulai merasa besar. Itulah awalnya, kamu mulai merasa besar.

Kamu sebenarnya layak merasa begitu, sebab kemenangan-kemenanganmu, kekaguman sahabat-sahabatmu, kekuasaanmu yang terbentang luas, kamu memang hebat dan besar. Itu fakta, tapi itulah jebakannya, merasa besar itu. Seperti itulah pada mulanya. Fir’aun merasa besar, lalu merasa mirip-mirip Tuhan. Kemudian merasa layak menjadi Tuhan. Maka ia pun berseru, lantang, ditengah gelombang massa rakyatnya yang patuh-patuh itu, “Akulah Tuhan kalian.”

Luar biasa rumitnya. Kamu hebat, tapi tidak boleh merasa hebat. Kamu besar, tepi tidak boleh merasa besar. Kamu berkuasa, tapi tidak boleh merasa berkuasa. Fakta dan perasaan tentang fakta yang haruslah dipisah. Kekuasaan dan perasaan tentang kekuasaan yang harus dijauhkan, itu menyakitkan. Orang-orang tidak menyukai situasi itu.

Ini perjuangan yang berat. Temanya adalah belajar memahami asal usul kita sebagai manusia. Kamu diciptakan, katu tidak menciptakan. Kamu hadir ke dunia tanpa apa-apa. Terlalu banyak orang yang berjasa atas dirimu. Terlalu banyak yang tidak kamu tahu. Terlalu banyak yang tidak kamu kendalikan. Kamu bisa kendalikan angin ? laut ? gunung ?

Kamu sebenarnya tidak hebat benar. Tidak berkuasa benar. Jadi kamu tidak punya alasan untuk merasa hebat atau berkuasa. Apalagi merasa mirip Tuhan. Apalagi merasa layak jadi Tuhan. Lihat saja Fir’aun, mati ditelan laut. Lihat saja Soekarno, jatuh juga dari kekuasaanya. Lihat juga Soeharto, lengser juga akhirnya.

Khalid bin Whalid mungkin tersanjung. Bait-bait sanjungan dan kekaguman sang penyair membuatnya berbunga, dia memang hebat. Sebagai panglima perang atau Gubernur Qinnasrin, dan dia merasa hebat. Perasaan itulah yang membuatnya bermurah hati. Dia menghadiahi sepuluh ribu dirham untuk sang penyair.

Tapi itulah sebabnya, atau salah satu sebabnya. Lelaki yang hebat, sangat berkuasa, ditakuti musuh, dikagumi sahabat, tapi dia melanggar tabu. Dia merasa hebat, tersanjung lalu terjebak. Sepuluh ribu dirham ini memang dari koceknya sendiri, tapi itu terlalu boros untuk menghargai sebuah sanjungan, maka Umar bin Khattab pun memecatnya.



*Mero

0 komentar