Suatu
hari Imam bin Hanbal dikunujungi seorang wanita yang ingin mengadu kepadanya. “Wahai
Syaikh, saya adalah seorang ibu rumah tangga yang sudah lama ditinggal mati
suami. Saya ini sangat miskin, sehingga untuk menghidupi anak-anak saya, saya
merajut benang dimalam hari, sementara siang hari saya gunakan untuk mengurus
anak-anak saya dan menyambi sebagai buruh kasar disela-sela waktu yang ada.
Karena saya tidak mampu membeli lampu, maka pekerjaan merajut itu saya lakukan
apabila sedang terang bulan.”
Imam
Ahmad menyimak dengan serius penuturan wanita itu, perasaannya miris mendengar
cerita yang memprihatinkan tersebut. Dia adalah seorang ulama besar yang kaya
raya dan dermawan. Sebenarnya hatinya telah tergerak untuk memberi sedekah
kepada wanita itu, namun ia urungkan dahulu karena wanita itu melanjutkan
pengaduannya.
“Pada suatu hari, ada rombongan pejabat negara berkemah di depan rumah saya. Mereka menyalakan lampu yang jumlahnya amat banyak sehingga sinarnya terang benderang. Tanpa sepengetahuan mereka, saya segera merajut benang dengan memanfaatkan cahaya lampu-lampu tersebut. Tetapi setelah selesai saya sulam, hati saya bimbang, apakah hasilnya halal atau haram kalau saya jual ? Bolehkah saya makan dari hasil penjualan itu ? Sebab, saya melakukan pekerjaan itu dengan diterangi lampu yang minyaknya dibeli dengan uang negara, dan tentu saja itu tidak lain adalah uang rakyat.”
“Pada suatu hari, ada rombongan pejabat negara berkemah di depan rumah saya. Mereka menyalakan lampu yang jumlahnya amat banyak sehingga sinarnya terang benderang. Tanpa sepengetahuan mereka, saya segera merajut benang dengan memanfaatkan cahaya lampu-lampu tersebut. Tetapi setelah selesai saya sulam, hati saya bimbang, apakah hasilnya halal atau haram kalau saya jual ? Bolehkah saya makan dari hasil penjualan itu ? Sebab, saya melakukan pekerjaan itu dengan diterangi lampu yang minyaknya dibeli dengan uang negara, dan tentu saja itu tidak lain adalah uang rakyat.”
Imam
Ahamd terpesona dengan kemuliaan jiwa wanita itu. Ia begitu jujur, ditengah
masyarakat yang bobrok akhlaknya dan hanya memikirkan kesenangan sendiri tanpa
peduli halal atau haram. Padahal jelas, wanita ini begitu miskin. Maka dengan
penuh rasa ingin tahu, Imam Ahmad bertanya “Ibu, sebenarnya engaku ini siapa ?”
Dengan suara serak karena penderitaannya yang berkepanjangan, wanita ini mengaku “Saya ini adik perempuan Basyar Al-Hafi.”
Dengan suara serak karena penderitaannya yang berkepanjangan, wanita ini mengaku “Saya ini adik perempuan Basyar Al-Hafi.”
Imam
Ahmad makin terkejut. Almarhum Basyar Al-Hafi adalah Gubernur yang terkenal
sangat adil dan dihormati rakyatnya semasa hidupnya. Rupanya, jabatan yang
tinggi tidak disalahgunakannya untuk kepentingan keluarga dan kerabatnya. Sampai-sampai
adik kandungnya pun hidup dalam keadaan miskin.
Dengan
menghela nafas berat, Imam Ahmad berkata “Pada masa kini, ketika orang-orang
sibuk memupuk kekayaan dengan berbagai cara, bahkan dengan menggerogoti uang
negara dan menipu serta membebani rakyat yang sudah miskin, ternyata masih ada
wanita terhormat seperti engkau wahai ibu. Sungguh, sehelai rambutmu yang
terurai dari sela-sela jilbabmu jauh lebih mulia dibandingkan dengan
berlapis-lapis serban yang kupakai dan berlembar-lembar jubah yang dikenakan
para ulama. Subhanallah, sungguh mulianya engkau, hasil rajutan itu engkau
haramkan ? Padahal bagi kami itu tidak apa-apa, sebab yang engkau lakukan itu
tidak merugikan negara...”
Kemudian
Imam Ahmad melanjutkan “Ibu, izinkan aku memberi penghormatan untukmu. Silahkan
engkau meminta apa saja dariku, bahkan sebagian besar hartaku, niscaya akan
kuberikan kepada wanita semulia engkau...”
Duhai
para pemburu surga dan wahai para wanita, gerakan anti korupsi sebetulnya bisa
dimulai dari gerakan sikap waro’. Karena dari rahim kalian lahir para pemimpin,
dari olah terampil tangan-tangan kalian tercipta makanan yang bukan hanya sehat
dan thoyib, tetapi juga halal, baik halal secara Dzat atau halal secara
maknawinya.
Duhai
kalian para pembimbing generasi dakwah, ditangan kalian kelak para Pahlawan
Peradaban akan besar, maka jadilah wanita yang selalu membingkai hati dengan
cahaya Al-Qur’an dan kelembutan akhlak.
*Mero
0 komentar