BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri adalah program nasional dalam bentuk
kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
berbasis program penanggulangan kemiskinan. Program ini diluncurkan oleh
Pemerintah di Palu pada tahun 2007 dan akan dilaksanakan sampai dengan tahun
2015, sejalan dengan target waktu pencapaian MDG (Tujuan Pembangunan Milenium).
Untuk periode 2007 - 2015, modal kemandirian masyarakat diharapkan telah
tercapai sehingga kesinambungan program dapat diwujudkan. Pelaksanaan PNPM
Mandiri dimulai dengan Kecamatan Development Program (KDP).
Tujuan PNPM Mandiri adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara
mandiri, dengan meningkatkan partisipasi dan kapasitas masyarakat untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan terkait dengan upaya meningkatkan kualitas
hidup, kemandirian dan kesejahteraan mereka menggunakan potensi sosial dan
ekonomi mereka secara efisien.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
cara pemerintah Kota Palu untuk melokalisasikan program pemberdayaan masyarakat
di Indonesia ?
2. Strategi
apa yang digunakan pemerintah Kota Palu untuk melokalisasikan program
pemberdayaan masyarakat di Indonesia ?
1.3
Tujuan
1. Untuk
mengetahui bagaimana cara pemerintah Kota Palu untuk melokalisasikan program
pemberdayaan masyarakat di Indonesia
2. Untuk
mengetahui strategi apa yang digunakan pemerintah Kota Palu untuk
melokalisasikan program pemberdayaan masyarakat di Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pemberdayaan
dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat
bukanlah obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian
dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek(agen
atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara
mandiri bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara. Pemberian layanan publik
(kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada
masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara. Masyarakat yang mandiri
sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas mengembangkan potensi
kreasi, mengontrol lingkungan dan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah
secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat
ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan (Sutoro Eko,
2002).
Menurut (Loekman Soetrisno, 1995),
Strategi pemberdayaan yang telah diupayakan selama ini dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1.
Aspek manegerial, yang meliputi; peningkatan
produktivitas/omset/tingkat hunian, meningkatkan kemampuan pasar, dan
pengembangan sumber daya manusia.
2.
Aspek permodalan, yang meliputi; bantuan modal
(penyisihan 1-5% keuntungan BUMN dan kewajiban untuk menyalurkan kredit usaha
kecil minimum 20% dari portofolio kredit Bank) dan kemudahan kredit.
3.
Mengembangkan program kemitraan dengan besar usaha,
baik bapak anak angkat, keterkaitan hulu-hilir (forward linkage), keterkaitan
hilir-hulu (backward linkage) dan subkontrak.
4.
Pengembangan sentra industri kecil dalam suatu kawasan
apakah PIK (pemukiman Industri Kecil), LIK (Lingkungan Industri Kecil), SUIK
(Sarana Usaha Industri Kecil) yang didukung oleh UPT (Unit Pelayanan Teknis),
dan TPI (Tenaga Penyuluh Industri).
5.
Pembinaan untuk bidang usaha dan daerah tertentu lewat
KUB (kelompok usaha bersama), KOPINKRA (Koperasi industri Kecil dan Kerajinan).
Pemberdayaan masyarakat bisa
dilakukan oleh banyak elemen: Pemerintah,
perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pers,
partai politik, lembaga donor, aktor-aktor masyarakat sipil, atau oleh
organisasi masyarakat lokal sendiri. Birokrasi Pemerintah tentu saja sangat
strategis karena mempunyai banyak keunggulan dan kekuatan yang luar biasa
ketimbang unsur-unsur lainnya: mempunyai dana, aparat yang banyak, kewenangan
untuk membuat kerangka legal, kebijakan untuk pemberian layanan publik, dan
lain-lain. Proses pemberdayaan bisa
berlangsung
lebih kuat, komprehensif dan berkelanjutan bila berbagai unsur tersebut
membangun kemitraan dan jaringan yang didasarkan pada prinsip saling percaya
dan menghormati (Sutoro Eko, 2002)
Adapun kebijakan-kebijakan tentang
pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut:
1.
Kebijakan Pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat
secara tegas tertuang didalam GBHN Tahun 1999, serta Undang-undang Nomor: 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Didalam GBHN Tahun 1999, khususnya
didalam “Arah Kebijakan Pembangunan Daerah”, antara lain dinyatakan
“mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam
rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga
hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat, serta
seluruh potensi masyarakat dalam wadah NKRI “.
2.
Sedangkan didalam Undang-undang. Nomor: 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah, antara lain ditegaskan bahwa “Hal-hal yang mendasar
dalam Undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat,
menumbuhkembangkan prakarsa dan kreativitas, serta meningkatkan peran serta
masyarakat “.
3.
Mencermati rumusan kebijakan Pemerintah didalam dua
dokumen kebijakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa “kebijakan pemberdayaan
masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan otonomi
daerah”. Setiap upaya yang dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan
secara langsung mendukung upaya pemantapan dan penguatan otonomi daerah, dan
setiap upaya yang dilakukan dalam rangka pemantapan dan penguatan otonomi
daerah akan memberikan dampak terhadap upaya pemberdayaan masyarakat.
4.
Dalam Undang-undang Nomor: 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 dan Program Pembangunan
Daerah (BAPPEDA) dinyatakan bahwa tujuan pemberdayaan masyarakat adalah
meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui penguatanlembaga dan organisasi
masyarakat setempat, penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial
masyarakat, peningkatan keswadayaan masyarakat luas guna membantu masyarakat
untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial dan politik”.
5.
Dalam rangka mengemban tugas dalam bidang pemberdayaan
masyarakat, Badan Pemberdayaan Masyarakat telah menetapkan visi, misi,
kebijakan, strategi dan program pemberdayaan masyarakat
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Langkah-Langkah dalam Kegiatan
Pemberdayaan Masyarakat
Terdapat tahapan program/ kegiatan yang harus dilakukan secara
berurutandalam usaha pemberdayaan masyarakat.
Tabel
3.1. Urutan langkah kegiatan pemberdayaan
3.1.1
Persiapan (Engagement)
1)
Penyiapan Petugas : Menyamakan persepsi anggota tim
2)
Penyiapan Lapangan :
a)
Studi kelayakan daerah sasaran
b)
Mengurus perijinan
c)
Menjalin kontak dengan tokoh informal
d)
Menjalin kontak dengan masyarakat
3.1.2
Pengkajian (Assessment)
1)
Mengidentifikasi
masalah (kebutuhan yang dirasakan)
2)
Mengidentifikasi sumber daya yang dimiliki
3)
Masyarakat sudah dilibatkan dalam tahap penilaian
4)
Kadang ditemukan ‘kebutuhan normatif’ yang tidak
dirasakan masyarakat
3.1.3
Perencanaan
program (Designing)
1)
Formulasikan tujuan yang ingin dicapai
2)
Buat urutan pelaksanaan kegiatan (isi kegiatan)
3)
Pilih pendekatan dan metode yang akan digunakan, bisa
juga metode dirinci masing-masing kegiatan
4)
Tentukan personalia yang bertanggung jawab pada tiap
kegiatan
5)
Susun waktu pelaksanaannya
6)
Buat rencana evaluasinya sesuai indikator
7)
Tentukan anggaran kegiatannya
Di dalam proses perencanaan juga
terdapat proses penentuan tujuan dari diadaknnya program pemberdayaan tersebut.
Maksud utama penentuan tujuan adalah untuk membimbing program ke arah pemecahan
masalah . Tingkatan tujuan ada dua : tujuan umum dan tujuan khusus. Perumusan
tujuan mengikuti kaidah SMART (Specific,
Measurable, Achievable/Appropriate, Realistic and Time Bound).
3.1.4
Implementasi
1)
Melaksanakan kegiatan sesuai rencana
2)
Rinci prosedur operasional untuk melaksanakan program
3)
Perlu kerjasama yang baik antara petugas dan
masyarakat
4)
Meningkatkan peran masyarakat dalam pelaksanaan
kegiatan
3.1.5
Evaluasi
Program
1)
Tentukan metode evaluasi
2)
Lakukan evaluasi bersama masyarakat
3)
Pilih jenis evaluasi (Formative atau Summative)
4)
Evaluasi pada komponen proses atau output
5)
Menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
a)
Apakah rencana sudah dilaksanakan ?
b)
Apakah tujuan sudah tercapai ?
c)
Apakah program sudah berjalan efektif ?
d)
Apakah program sudah berjalan efisien
Untuk
dapat mengetahui keberhasilan suatu program yang telah dilaksanakan, terdapat
indikator yang dapat digunakan sebagai tolak ukur, yaitu disebut sebagai
indikator keberhasilan.
Gambar 3.2.
Indikator Keberhasilan
Selain indikator keberhasilan,
terdapat juga indikator keberdayaan, yaitu:
1) Meningkatkan
kesadaran dan keinginan untuk berubah:
a) Berapa
banyak sasaran yang memahami program
b) Berapa
banyak sasaran yang dapat merasakan pentingnya program
2) Meningkatkan
kemampuan individu untuk berubah, meningkatkan kesempatan untuk memperoleh
akses:
a) Berapa
banyak sasaran yang telah melakukan kegiatan seperti program
b) Berapa
banyak sasaran yang ingin melanjutkan kegiatan seperti program
c) Berapa
banyak sasaran yang ingin memperoleh kesempatan lebih baik
3) Tindakan
individu untuk menghadapi hambatan:
a) Berapa
banyak sasaran tetap melakukan kegiatan walau ada hambatan
b)
Hambatan apa saja yang muncul berkaitan pengembangan
diri dan masyarakat
4)
Meningkatkan solidaritas atau tindakan bersama orang
lain:
a)
Tindakan bersama untuk memperbaiki keadaan wilayahnya
b)
Upaya mempertahankan dan meningkatkan kondisi yang
telah baik
3.1.6
Tahap
Terminasi
1)
Dilakukan saat mengakhiri ‘hubungan’ secara formal
dengan sasaran
2)
Perlu dilakukan secara bertahap.
3)
Perlu menjaga hubungan/kontak hingga setelah program
selesai dilaksanakan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
- PDPM
(Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat) dibentuk untuk memastikan
kelangsungan PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) saat PNPM
selesai.
- Strategi
yang digunakan oleh Pemerintah Kota Palu adalah dengan bekerja sama dengan
lembaga dan sektor swasta.
- BKM
(organisasi masyarakat yang melaksanakan program) menyaksikan bahwa
transparansi dan pertanggungjawaban adalah dua hal yang penting untuk
membangun kemitraan.
4.2 Saran
Untuk
mendukung pelaksanaan good governance, khususnnya dalam implementasi kebijakan
publik, perlu penelitian lebih lanjut tentang sinergisitas antara pemerintah,
masyarakat dan pihak swasta dalam membentuk pola hubungan diantara ketiga
komponen tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Eko,
Sutoro. 2002, Pemberdayaan Masyarakat Desa, Materi Diklat Pemberdayaan
Masyarakat Desa, yang diselenggarakan Badan Diklat Provinsi Kaltim,
Samarinda, Desember 2002
GBHN Tahun
1999
http://media.unpad.ac.id/thesis/170130/2009/170130090075_5_7581.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41136/3/Chapter%20II.pdf
Soetrisno,
Loekman. 1995. Menuju Partisipasi Masyarakat. Yogyakarta: Kanisius.
Undang-undang
Nomor: 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang
Nomor: 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS)
LAMPIRAN
ARTIKEL
PDPM: Cara Pemerintah Kota Palu untuk
Melokalisasi Program Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia
24 Maret 2010
PNPM diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia
telah mengilhami beberapa pemerintah daerah untuk mengikuti model yang akan
mempercepat pengentasan kemiskinan di daerah mereka. Sebelumnya, ada BKPG
(Bantuan Kesejahteraan Peumakmue Gampong) dimulai oleh Provinsi Aceh dan
program RESPEK (Rencana Strategis Pembangunan Kampung) yang diprakarsai oleh
Provinsi Papua dan Papua Barat. Sekarang Pemerintah Kota Palu di Sulawesi
Tengah membuat program serupa bernama PDPM. Ketiga program menggunakan
mekanisme PNPM di mana masyarakat menilai masalah mereka, mendiskusikan solusi,
merencanakan dan melakukan kegiatan pembangunan, memantau dan memelihara
pembangunan.
"PDPM
diciptakan untuk melanjutkan PNPM ketika selesai," ujar Rusdi Mastura, Walikota Palu,
pada saat perbincangan radio di Palu (Sulawesi Tengah) pada tanggal 24 Maret.
Dana PDPM secara murni diambil dari anggaran kota (APBD). Setiap kelurahan menerima
Rp115-200 juta (sekitar $12,600 sampai $22,000) untuk program pembangunan
mereka. Sampai saat ini, Pemerintah Kota Palu telah menyediakan dana PDPM
sebesar Rp5 miliar atau sekitar $550,000.
Berkaitan
dengan PNPM, Walikota mengatakan bahwa jumlah dana PNPM yang diterima sampai
saat ini adalah Rp25 miliar atau sekitar $2.7 juta. Walikota menyatakan bahwa
dana ini adalah untuk membantu kota menurunkan jumlah rumah tangga miskin dari
13.000 menjadi 11.000. "Sekitar 2.000 rumah tangga telah keluar
dari garis kemiskinan," katanya.
Keberhasilan
ini mendorong pemerintah untuk melakukan lebih banyak upaya dalam mengentaskan
kemiskinan di kota mereka. Wakil Walikota Palu, Andi Mulhanan Tombolotutu
mengatakan bahwa PNPM telah mengilhami program pro-masyarakat miskin lainnya di
tingkat desa. Pemerintah saat ini mengintegrasikan semua program pengentasan
kemiskinan yang dilakukan oleh setiap badan pemerintah untuk memastikan bahwa
program tersebut menjawab kebutuhan masyarakat.
Walikota dan
timnya yakin bahwa kemitraan sangat penting dalam mencapai tujuan mereka
mengentaskan kemiskinan. Kemitraan, menurutnya, diperlukan untuk menjamin
keberlanjutan program. "Kami selalu berusaha untuk mengembangkan
platform berdasarkan pada 3 pilar: masyarakat, pemerintah dan sektor
swasta," ujar Wakil Walikota. Sektor swasta harus termotivasi
untuk memberikan kontribusi terhadap program pengentasan kemiskinan. Sasarannya
adalah program CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan swasta. "Dalam
waktu dekat, kita akan melakukan pertemuan dengan sektor swasta untuk
menyajikan program-program pembangunan kami. Lalu, kami akan meminta kontribusi
mereka," jelas Walikota.
Namun, ia
menyadari bahwa untuk mendapatkan dukungan dari sektor swasta, transparansi dan
pertanggungjawaban pelaksanaan program harus terjamin. Arifudin Tahawila,
Koordinator BKM (organisasi masyarakat) dari Desa Lambara, menyatakan bahwa
membangun kepercayaan sangat penting untuk mendapatkan mitra. "Sejak
awal, kami melatih masyarakat dalam mengembangkan dan menjual proposal kepada
lembaga-lembaga lain. Kami datang sebagai BKM dan menjamin kualitas
transparansi dan pertanggungjawaban. Mengapa? Karena BKM dipilih oleh
masyarakat, bukan ditunjuk oleh pemerintah, maka mitra mempercayai kami.
" Arifudin mengakui bahwa BKM tidak pernah mengalami masalah apa
pun dalam bekerja dengan lembaga-lembaga lain.
Bermitra
dengan sektor swasta, menurut Wakil Walikota, mendorong pemerintah dan BKM
mengetahui secara jelas apa yang mereka butuhkan. "Untuk
mendapatkan dukungan dari mereka, kita harus mengetahui dengan jelas apa yang
kita butuhkan. Saya yakin mereka akan bertanya, bagaimana mereka dapat
berkontribusi. Jika kita tidak dapat menjawab pertanyaan ini, akan sulit bagi
mereka untuk membantu kita." Oleh karena itu, penguatan entitas
masyarakat dan pembangunan kapasitas harus dilakukan secara intensif.
Di masa mendatang, Walikota
memiliki harapan lebih besar dari BKM. "BKM harus memainkan peran
yang lebih penting. Saya ingin BKM untuk memfasilitasi masyarakat dalam
mendapatkan bantuan dari lembaga-lembaga lain seperti bank dan sektor
bisnis," ujarnya.
Selain
kemitraan, Pemerintah Kota Palu berencana untuk memperkuat lembaga-lembaga
pemerintah dalam mengelola program-program pengentasan kemiskinan, penguatan
PDPM kompetitif di antara desa dan penstandaran data kemiskinan. Selain itu,
evaluasi terhadap harmonisasi program ini akan dilakukan secara rutin.
Agustina,
penerima manfaat program yang menghadiri perbincangan berbicara tentang manfaat
yang ia dapatkan dari program ini. "Sebelumnya, saya mempunyai masalah
dalam mendapatkan dana untuk usaha kecil saya. Saya menjual nasi kuning di
sekolah. Saya meminjam uang dari koperasi tapi bunganya sangat
tinggi. Akhirnya, saya mendapat dana dari PNPM Perkotaan. Pada awalnya saya
hanya menerima Rp500.000 ($55) tapi sekarang usaha saya menjadi lebih besar,
senilai Rp6 juta ($660)," katanya. Koperasi adalah usaha
ekonomi di desa.
0 komentar